Culture Shock

 Pas scroll Tik Tok nemu konten tentang Culture Shock anak Jateng pas datang kuliah di Malang. Aku deja vu. Sebenarnya, meski ada di Jawa Timur, tiap-tiap daerah itu punya potensi bikin shock anak luar daerah. Anak Surabaya sekitarnya kalau ke Malang pasti ada Culture Shocknya, apalagi anak Blitar, Tulungaung, Trenggalek yang secara bahasa medoknya aja kental banget.

Aku datang ke Malang tahun 1996, dari Mojokerto yang lebih dekat dengan Surabaya. Sekarang kalau memperhatikan curhatan anak luar Malang yang baru datang keknya masih berlaku deh, apa yang dulu kurasakan masih sama dengan anak sekarang.

Beberapa hal yang laiiin banget kerasa kalau ada di Malang:

- Ketika berbahasa Jawa, Ngoko, pelafalan dan intonasi arema itu lebih halus dibanding anak Sby sekitarnya, meski enggak sehalus anak jateng. Jadi kadar nge-gasnya itu di bawah anak Surabaya. Kalau aku masih pake Kon, Rek sebagai panggilan, di Malang mereka lebih suka memakai awakmu atau pean meski lawan bicaranya seumuran.

- Penyebutan beberapa kata juga berbeda jauh dengan yang biasa kugunakan. Contohnya : Buncis kalau di Malang disebut Ucet, Ote-ote adalah weci/heci ( aku sekarang menyebutnya bakwan sayur ), pegel dan kesel itu lain ya gaeees. Arema kalau bilang pegel itu artinya jengkel / kesal. Jadi Kesel adalah capek. Lemut adalah Nyamuk bukan semut, selada itu adalah selada air, bukan selada kriting yang dibuat lalap itu. Selada kriting di sini disebutnya Andewi. Hahahaha.... Lainnya masih banyak deh.

- Cuaca. Karena datang dari kota yang panas kering gersang berdebu, ini faktor yang paling bikin shock. Juli-Agustus di Malang adalah Musim Mahasiswa Baru. Alias pas dingin-dinginnya. Dan memang, meski aku sekarang sudah hampir 30 tahun di Malang, cuaca bulan-bulan itu berada di suhu paling rendah. Pokoknya kalau udah masuk musim mahasiswa baru, dahlah go sah keluar. Dalam kos-an aja udah kayak kulkas. Sinar matahari itu surga, tapi kalau udah panas dan masuk dalam rumah, ya klean akan kedinginan lagi. Selain suhu yang emang adem, hujan di Malang itu awetnya semriwing dan lamaaaaaaaaaaa dibanding Mojokerto, ya. Yang unik lagi, setelah musim mahasiswa baru datanglah musim ongkep alias musim gerah sebelum musim hujan menyerang. Malam pun gerahnya amit-amit dah.

- Makanan rumahan di Malang lebih banyak berkiblat ke luar kota yang kekinian, rasanya itu udah mix gitu. Bisa jadi karena makin banyak pendatang, terutama mahasiswa. Ngapain kalian woiii ke Malang??? Kalau di Mojokerto, makanan rumahannya itu medok, tapi di Malang banyak juga makanan yang bumbunya menurutku medok banget seperti Sayur pedes yang pake tempe kacang, trus basonya itu khas kuah kaldunya kalau beli di abang-abang lewat. 

Sekarang, setelah hampir 20 tahun di Batu, aku malas ke Malang kalau enggak penting. Macet warbyahasah dan crowded. Batu lebih  nyaman untuk hidup tenang. Anakku aja bilang kalau kuliah mau dia keluar Malang, tapi kerja nanti balik Batu. Walah Nduk, padahal kudorong-dorong dia biar enggak mbulet ae di sini.

-

Comments

Popular posts from this blog

Rambut Singa

Titik Jenuh

Lockwood & Co Series