Di Titik Keramaian

 

Sepuluh tahun yang lalu, aku pernah nulis bucket list di blog ini. Scroll aja kalau mau tahu apa isinya. Salah satunya adalah harapanku untuk mudik lebih sering. Tidak hanya setahun sekali. Kala itu anak-anak masih kecil, dan transportasi enggak semudah sekarang. Dulu, masih harus mikirin kenyamanan naik bus bawa bayi belum lagi harus oper-oper bus karena enggak ada bus yang langsung dari Malang ke Mojokerto. 

Aku juga pernah menulis ribetnya mudik pas pake bus gara-gara kereta enggak jalan.

Dua tahun kemarin, kepulanganku dan anak-anak ke Mojokerto sudah nyaman. Naik kereta dengan tiket yang bisa dipesan, Ada gocar untuk menuju rumah dari stasiun.

Kemarin, aku mudik lagi. Enggak ada yang spesial sebenarnya. Hanya saja ekspektasiku yang berlebihan. Aku kira seperti kepulangan sebelumnya, penumpang tu enggak terlalu padat. Karena bukan liburan meski akhir minggu. Biasanya penumpang didominasi mahasiswa, enggak terlalu crowded dan noisy lah.

Sabtu kemarin, aku syok. Kereta penuh dengan rombongan keluarga-keluarga. Kebanyakan membawa bayi dan balita. Mana mereka enggak dapat tiket duduk. Kasihan anak-anaknya. Jadilah anak-anak itu dititip di tempat penumpang. Aku sendiri dapat titipan satu anak umur 4 tahun yang anteng.

Hari itu, sepertinya banyak yang pulang kampung untuk membesuk orang tua, sama seperti aku. Makanya banyak yang bawa anak kicik-kicik. Sambang Mbah, gitu kata mereka. Bisa jadi karena Maret sudah awal puasa yang pasti rame juga, mending sekarang aja pulangnya.

Sampai di Wonokromo, seperti biasa mampir DTS, beli makan sama minum. Sepi banget apalagi karena ujan dan hampir waktunya tutup. Waktu aku balik ke stasiun, semua rolling door dah pada diturunin. 

Masuk stasiun, aku syok lagi sampe gemetaran. Penumpang banyaaak banget sampe berjubel di depan pintu menuju peron. Ditambah lagi bising yang bikin aku makin pening. Suara lato-loto campur tamgisan bayi diramein lagi sama bunyi karaoke plus ting tung ting tung pemberitahuan kereta datang. Di Wonokromo kereta datang hampir 5 menit sekali.

Waktu itu rasanya kena panic attack. Aku gemetaran, sesak dan rasanya darah itu disedot keluar sampe lemas. Sempat terlitas, mo balik aja ke Malang. Gpp deh berdiri, setidaknya kalau di bordes ada space ku yang enggak crowded. Baru kali ini aku anxiety parah. Waktu sampai rumah baru kusadari. Biasanya kalau membawa anak-anak, aku lebih bisa mengendalikan diri karena ada anak-anak yang harus kujaga. Fokusku dengan mudah mengambil alih kecemasanku. Kemarin waktu sendirian, rasanya berkunang-kunang. Bukan hampir pingsan, cuma lemas gitu. Ah, you name it lah.

Gerimis menyambut di Mojokerto, aku keluar stasiun untuk beli martabak biasanya. Begitu antreannya ruammmme, pindah ke martabal lainnya. Another shocking scene karena harga martabak termurah itu 65 ribu sedangkan duit di dompetku hanya sisa 70 rebu. Wkwkwkwkk...

Dengan menahan malu, aku bilang mau ambil duit dulu lalu pindah ke warung sate. Bapak sate yang baik hati membonusiku ( aku dibilangnya mahasiswa, sampai kubilang anakku dua dan dia melihat uban di rambut. wkwkwk ). Bapak sate juga yang memesankan gojek pakai hapeku coz aku ga bisa liat karena ga pake kacamata. 

Balik ke Malang untung saja enggak serame pas ke Mojokerto. Moodku membaik karena nemu nasi jotos enak murce dekat stasiun.


Nasi urap dengan bumbu kelapa yang mantap. Lauk pendampingnya pun sedap-sedap. Porsinya pas, bisa kumakan 2x.

Sampai Malang masih disambut gerimis. Udara dingin mengigit kulit itu rasa dinginnya enggak sama. Buat yang dah lama di Malang-Batu, tahulah bedanya.

Satu wish list lagi yang bisa kucoret. Mari berjuang mencoret wish list lainnya.
 

Comments

Popular posts from this blog

Rambut Singa

Titik Jenuh

Lockwood & Co Series